Selasa, 22 Juli 2014

Konflik Gaza Menjadikan Kita Menyatu, Bukan Terpecah

Pertama, Simak video ini

Lihat aneka tanggapan di FB Fans Page
Kedua, Simak SUPLEMEN
Paman dari Naftali Fraenkel, salah satu remaja Israel yang terbunuh, menyampaikan belasungkawa melalui telepon kepada Hussein Abu Khdeir, ayah dari Mohammed Abu Khdeir. Ucapan melalui telepon itu dilakukan setelah dua warga Palestian dari kawasan Hebron mendatangi keluarga Fraenkel yang sedang berduka.
Dua warga Palestina dari daerah Gush Etzion, ditemani oleh kepala dewan keagamaan Gush Etzion, Rabbi Rafi Ostroff, tiba di tempat kediaman keluarga Fraenkel di Nof Ayalon ketika keluarga berduka itu sedang berada di masa duka tradisional yang berlangsung selama tujuh hari. Rabbi Ostroff, menyatakan bahwa,
“Sejumlah warga Palestina yang saya kenal ingin berkunjung dan menghibur keluarga-keluarga ini, jadi saya membawa mereka ke sini, Keluarga Fraenkel menyambutnya secara luar biasa. Mereka tidak berpikir panjang untuk mempersilahkan tamu-tamunya masuk; jelas sekali mereka tidak keberatan, ..”
Sang Paman menyatakan,
“Kami menyatakan empati mendalam atas penderitaan mereka, dari satu keluarga yang berduka kepada keluarga berduka lainnya. Baguslah kalau pelakunya sudah ditemukan. Kami menyatakan rasa jijik tentang apa yang telah terjadi. Ia menerima pernyataan kami, karena penting baginya untuk mendengar hal itu.
Tidak ada bedanya mereka yang membunuh Mohammed dengan mereka yang membunuh anak-anak kami. Sama-sama pembunuh. Dan dua kejadian ini harus dituntaskan secara hukum, dan kami mengatakan ini kepadanya.”
Dua warga Palestina, membalasnya dengan tak kalah humanis dan penuh penyesalan,
“Saya datang dari keluarga yang berduka, telah kehilangan seorang saudara lelaku dan memiliki beberapa anggota keluarga yang mantan narapidana yang sayangnya pernah juga melempari batu-batu ke arahmu.
Tidak ada bedanya kalau sudah berurusan dengan darah. Pembunuhan adalah pembunuhan; tidak ada dalih, pengampunan ataupun penggantian untuk pembunuhan manapun.
Pada saat kita belajar menghadapi rasa sakit masing-masing dan menghentikan amarah terhadap satu sama lain, keadaannya akan membaik
Tujuan kami adalah untuk menguatkan keluarga dan mengambil langkah-langkah ke dapat menuju pembebasan rakyat kami. Kami percaya bahwa hanya melalui hati orang-orang Yahudilah pembebasan kami bisa terjadi.
Kami menyesali adanya kekerasan bentuk apapun terhadap rakyat, entah Yahudi ataupun muslim. Kami tidak menginginkan siapapun tersakiti, dan ingin mencapai kesepakatan politik.”
Vidio dan fakta di atas, mungkin tak terdengar, tersebar luar di media massa Indonesia; yang sampai pada publik Nusantara adalah sikon yang parah berdarah, bom, tangisan, ratapan kesakitan, serta wajah duka karena kematian. Padahal, apa yang ada pada video dan suplemen tersebut, beberapa hari sebelum Israel dihujani roket oleh Hamas, serta balasan pengeboman oleh AU Israel.
Dua keluarga yang sama-sama kehilangan putera-putera mereka bisa menerima kenyataan dan saling menghibur dalam duka; sama-sama kehilangan, dan kemudian saling menguatkan; serta berusaha menciptakan kedamaian.
Sayangnya, semua yang terjadi itu, tak terlihat hingga ke Gaza; para petinggi Hamas, tak peduli terhadap hal-hal tersebut. Bagi mereka, karena ada pembunuhan, maka Israel harus disiram dengan rudal serta roket. Pemerintah Israel pun tak tahan dengan siraman dan hujan tersebut, mereka membalas dengan seru.
Akibatnya, anda sudah tahu. Korban pun berjatuhan, yang seharusnya tidak ada lagi kematian menyusul 4 remaja Israel dan Palestina; namun serangan roket Hamas dan balasan bom dari Israel memperpanjang daftar kematian. Sebab, Hamas gunakan warga sipil sebagai penahan bom dari pesawat-pesawat Israel.
Panjangnya daftar kematian akibat serangan bom tersebutlah yang tiba di Indonesia; media Indonesia memberitakan bahwa ada kematian di sana; di sana ada pertumpahan darah; terjadi pembantain dan pembunuhan di Gaza. Luar biasa. Setiap hari, nyaris tak ada berita tentang hidup dan kehidupan di/dari Gaza; yang muncul hanyalah kisah duka dan kematian, dan secara tidak langsung menumbuhkan benci, kebencian, caci maki, serta dendam.
Apalagi, ditambah dengan unjuk rasa solidaritas terhadap Hamas/Gasa, [walau atas nama Palestina]. Tiba-tiba banyak orang karena membela Hamas, dan benci Yahudi, maka mereka gunakan semangat pembasmin oleh Hitler terhadap Yahudi, sebagai model yang [kita] harus kerjakan dan lakukan terhadap Israel masa kini. Gambar, foto, ucapan Hitler pun dijadikan ikon perlawanan terhadap Israel.
Lebih dari itu, pada beberapa kalangan, terutama melalui Media Sosial, dan berlanjut hingga sya menulis artikel ini, nampak, ada, terjadi perpecahan dan permusuhan antara sesama anak bangsa. Mereka yang tidak berpihak kepada Hamas adalah bukan kita; dan karena bukan kita, maka ia bla bla bla bla .....
Mereka, para Pecinta Hamas, yang berseru-seru membela Hamas, berhadapan dengan Yang Lain, yang melihat bahwa Hamas pun melakukan kekerasan. Walau Israel, disebut sebagai membela diri, namun dampak dari upaya pembelaan diri itu, malah menambah jumlah kematian. Sama halnya dengan Hamas, yang katanya mau memberi pelajaran kepada Israel karena ada remaja Palestina yang terbunuh, justru semakin menambah korban yang tewas.
Dua-duanya tak ada benar.
Sayangnya, tak sedikit dari antara orang Indonesia melihat hingga sedalam itu; banyak yang melihat akibat, bukan reaksi dari aksi sebelumnya. Cara pandang seperti itulah, dan ditambah dengan "karena dia ......, makanya bela Hamas; karena dia ....., makanya bela Israel"
Kita, negeri ini, menjadi terbelah; terbelah karena cara pandang dan melihat suatu kejadian secara parsial.
Mungkin, ini yang disebut oleh seorang Guru Besar, ketika sekian tahun yang lalu, ia menjadi promotor saya; menurutnya, "Bangsa Indonesia, mudah dihancurkan, bukan oleh senjata dan perang. Tidak perlu gunakan perang untuk hancurkan Indonesia. Cukup membangun opini permusuhan dan konflik di luar, misalnya Timur Tengah, dan siarkan ke Indonesia. Mereka, maksudnya orang Indonesia, akan saling menghancurkan, ..."
Oh, betapa mudah dan lemahnya bangsaku, di hadapan orang lain atau dalam pandangan orang lain di luar sana. Anda dan saya bisa menolak pernyataan itu!? Pada masa itu, diriku bisa membantah; namun belakangan, diriku menjadi malu, karena apa-apa yang diucapkan itu ada benarnya. Banyak kejadian di luar sana, bisa dijadikan sebagai alat untuk memicu konflik di Nusantara. Katakanlah, Bom Natal, Bom Bali, dan rangkaian aksi teror di negeri ini, hingga permusuhan akibat beda pandang mengenai konflik Gaza antara Hamas dan Israel.
Kini, antara Hamas dan Israel, untuk sementara mereka berhenti menyerang, walau bukan damai dan berdamai, apakah itu bisa menjadikan kita, ya anda dan saya, untuk menyatu sebagai sesama anak bangsa!?
Terpulang kepada anda.
[caption id="attachment_348108" align="aligncenter" width="480" caption="opajappy.com"]
 Open Door Policy: Rachel Fraenkel, the bereaved mother of murdered Israeli-American teenager Naftali Fraenkel, welcomes visitors in her home.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/07/18/konfilik-gaza-menjadikan-kita-menyatu-bukan-terpecah-674953.html

50 Happiness Quotes with Important Life Lessons

Happiness often sneaks in through a door you didn't know you left open. -John Barrymore Happiness is not something ready made. It...