Kejutan baru datang dari Tifatul Sembiring, salah satu petingggi PKS, yang kini masih menjadi Menteri pada pemerintahn SBY. Menurut Tifatul, yang dikutip oleh berbagai media cetak dan online,
” … akan tetap berada dalam koalisi merah putih sebagai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa; namun, koalisi harus ada legalitasnya di atas kertas.
harus ditindaklanjuti dengan hitam di atas putih, pakai materai dan mesti dijalin komunikasi yang bagus. Janji kami tahun 2004 ya kaya begini juga. Makanya saya bilang kaya orang pacaran, kalo baru-baru tuh mesra-mesra lah. Nanti kalau udah jalan baru ketahuan.… perlu ada komunikasi yang intens sebelum koalisi itu dilegalkan di atas kertas. Setelah deklarasi biasalah pernyataan politik dulu baru nanti dikuatkan dan dijaga komunikasinya.
terbuka untuk bergabung dengan siapapun. Termasuk kubu yang mengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Saya sudah dekat dengan Joko. Kedekatan itu dimulai ketika PDIP dan PKS bergabung untuk mengusung Joko sebagai Wali Kota Solo. Pak Jokowi menang di Solo itu PDIP dan PKS murni loh, kami yang kampanye waktu itu. Dua kali menang. Waktu saya jadi menteri beliau masih wali kota. Kita bukan orang lain, coba baca tweet saya, ada gak yang nyerang beliau.”
Itulah politik; sederhananya politik hanyalah seni untuk berkuasa, menguasai yang dikuasai, serta pembagian kuasa dan kekuasaan; selanjutnya, karena ada kuasa serta kekuasaan itu. maka harus mendapat keuntungan darinya. Juga dalam politik, ada upaya memperjuangkan kepentingan, kelompok, dan mengusai serta menyingkirkan lainnya, yaitu mereka yang berbeda (di luar kelompok, beda idiologi, bahkan beda SARA).
Dengan demikian, atau agaknya PKS, melalui Tifatul Sembiring, telha melihat bahwa, mereka akan menjadi Yang Tersingkir dari lingkaran kekuasaan serta pusat pemerintahan. Dan itu, merupakan sesuatu yang merugikan bagi PKS. Oleh sebab itu, PKS melakukan melempar wacana kami terbuka terhadap PDIP (sebetulnya mau berbaik-baik dengan Jokowi-JK), serta, TF ingatkan kembali bahwa dulu dirinya dan Jokowi temanan.
Wacana yang dilemparkan oleh TF tersebut, ternyata mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Pada umumnya, publik, terutama pemilih serta pendukung Jokowi-JK , menolak wacana dari TF/PKS, sambil mengingat apa-apa yang dilakukan PKS terhadap Jokowi (dan JK) selama kampanye Pemilu Legislatif dan Pilpres.
Tentu kita, saya, dan anda, belum lupa ingatan sehingga melupakan berbagai serangan dari orang-orang PKS terhadap Jokowi. Terutama di media sosial, Jokowi mendapat serangan sangat luar biasa tak bermartabat, yang belum pernah dialami atau didapat oleh kandidat Presiden di Indonesia.
Lalu, kini ada suara yang berubah dari TF/PKS; begitu cepat, dan sangat nyata.
Jika (koalisi) Jokowi-JK meneriam penawaran diri tersebut, tentu tak bisa dilarang; toh mereka sudah jadi Presiden dan Wakil Presiden. Mereka mempunyai hak penuh untuk mengajak apa dan siapa di lingkaran pemerintahan, kuasa, dan kekuasaan. Rakyat hanya bisa menerima apa adanya, jika itu adalah keputusan Presiden dan Wapres yang dipilih mereka.
Itu hanyalah kemungkinan terburuk bagi rakyat, secara khusus Tim Relawan yang bekerja siang malam untuk Jokowi.
Namun, jika kemungkinan terburuk itu lah yang terjadi, maka (koalisi) Jokowi- JK melakukan kesalahan terbesar dalam kebijakan politik mereka; dan itu juga merupakan pengkhianatan terhadap rakyat, terutama mereka yang menjadi Tim Relawan. Karena kali ini, Pilpres 2014 merupakan pertarungan antara relawan dengan partai politik.
Mari simak pendapat Sejarahwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (), Asvi Warman Adam,
"Karena kalau Jokowi-JK menang, maka faktor yang menentukan adalah relawan dan artis. Munculnya banyak relawan karena kondisi partai politik sudah sangat parah. Partai politik belum mampu mengartikulasi keinginan rakyat. Pilpres kali ini sebenarnya adalah pertarungan antara relawan dengan partai politik.Jokowi-JK adalah figur yang diinginkan relawan, sementara Prabowo-Hatta adalah figur yang didukung banyak partai politik. Tetapi perlu diingat bahwa semakin banyak partai politik bergabung, semakin lemah capres tersebut. Yang ramai hanya based camp, deklarasi di based camp, tetapi hasilnya nol, (L-8/Suara Pembaruan)."
Dalam banyak hal, pendapat Asvi Warman Adam tersebut ada benarnya. Tim Relawan Jokowi, wlau kebanyakan tak saling berhubunga, telah kuat sejak Pilkada DKI; dan semakin bertambah, setalah ada banyak sosok yang mencalonkan diri sendiri sebagai Kandidat Presiden. Bahkan, kehadiran JK sebagai Wapres Jokowi pun, secara praktis, Tim Ses JK sudah tidak begitu lelah dan nganggur, karena solidnya Relawan Jokowi.
Para relawan inilah, tanpa dikomando, melakukan atau memberi jawaban terhadap semua jenis kampanye hitam terhadap Jokowi (dan JK). Hal itu, pernah dirasakan oleh diriku; pada satu waktu akses internet di rumah mengalami gangguan. Karena ada hal yang penting, maka harus ke warnet. Hingga lebih dari lima warnet, semuanya ada penuh. Ketika diperhatikan, mereka adalah anak-anak mudah yang yang ramai-ramai melakukan hak jawab terhadap posting-posting yang menyerang Jokowi. Karena ada yang saya kenal, ketika bertanya, apakah mereka relawan resmi atau terdaftar sebagai relawan Jokowi-JK, ternyata tak satu pun ada.
Mengapa seperti itu!? Ya, mereka adalah bagian dari orang-orang Indonesia, yang mau ngeri ini berubah ketika Jokowi menjadi Presiden. Lebih dari itu ...... mungkin anda punya jawabannya.
Jika ada seperti itu, walau mereka, para relawan tersebut, tak menuntut apa-apa, malah rela berkorban waktu, tenaga, dan uang, bukan berarti usaha, kerja, upaya mereka dibayar dengan mudahnya menerima orang-orang PKS di/dalam pemerintahan Jokowi-JK.
Rakyat Indonesia, memang sangat banyak yang masih sabar; namun kesabaran itu bukan untuk dikhianati.
Opa Jappy/Bukan Relawan Jokowi - JK